Weburic – Tingginya minat masyarakat Indonesia terhadap ponsel mahal seperti iPhone dan perangkat flagship lainnya—termasuk HP lipat—bukan sekadar soal teknologi terbaru. Fenomena ini menyimpan dimensi sosial yang lebih dalam.
Menurut Devie Rahmawati, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, tingginya antusiasme terhadap produk premium sangat berkaitan dengan budaya sosial masyarakat Asia, khususnya Indonesia, yang masih sangat menjunjung tinggi sistem sosial yang bersifat hierarkis.
Dalam wawancara bersama Gadget Weburic pada Kamis (15/5/2025), Devie menjelaskan bahwa perilaku konsumtif terhadap barang mewah, seperti ponsel pintar, tas bermerek, atau sepatu eksklusif, merupakan bagian dari upaya individu untuk meningkatkan citra dan posisi sosial di mata orang lain.
“Berbeda dengan masyarakat Barat yang cenderung egaliter, masyarakat Asia—termasuk Indonesia—masih sangat kental dengan struktur sosial berjenjang. Ada dorongan kuat untuk tampil sebagai bagian dari kelas atas,” ujar Devie.
Ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat Asia secara umum dipengaruhi oleh konsep “4K” sebagai indikator status sosial, yakni: Kekuasaan, Kekayaan, Ketenaran, dan Kewibawaan. Kepemilikan barang-barang mewah menjadi simbol dari pencapaian empat aspek tersebut.
Dengan kata lain, membeli ponsel mahal bukan hanya soal fitur canggih atau kebutuhan teknologi, tetapi juga tentang membangun citra diri, menunjukkan status, dan mendapatkan pengakuan sosial. Dalam konteks ini, gadget menjadi simbol identitas, bukan sekadar alat komunikasi.
iPhone dan Barang Mewah Jadi Simbol Status Sosial yang Mudah Diakses

Dalam struktur sosial yang bersifat hierarkis, seseorang yang memiliki salah satu dari empat elemen—kekuasaan, kekayaan, ketenaran, atau kewibawaan—umumnya dianggap berada di posisi puncak. Di antara keempat aspek itu, kekayaan menjadi elemen yang paling mudah ditunjukkan secara kasat mata, salah satunya lewat kepemilikan barang mewah seperti iPhone.
“Untuk mendapatkan kewibawaan, seseorang harus menjadi tokoh agama atau memiliki pendidikan tinggi. Untuk kekuasaan, dibutuhkan proses politik yang panjang. Namun, simbol kekayaan bisa langsung terlihat hanya dengan menggunakan handphone mahal, tas bermerek, atau tinggal di kawasan elit,” jelas Devie.
Ia menambahkan bahwa tren ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara Asia lainnya, seperti China, juga menunjukkan pola serupa, di mana konsumsi barang-barang mewah menjadi jalan pintas untuk memperlihatkan status sosial.
Dengan kata lain, membeli produk premium bukan semata karena kebutuhan fungsional, tetapi sebagai bentuk representasi diri di tengah masyarakat yang menilai seseorang dari apa yang tampak. Barang menjadi simbol, dan simbol menjadi alat untuk eksis di tengah kompetisi sosial yang tak selalu terlihat, namun sangat terasa.
Gadget Mahal Sebagai Modal Pansos

Selain itu, Devie menyoroti budaya “pansos” atau panjat sosial sebagai fenomena yang khas dalam masyarakat yang memiliki struktur sosial hierarkis.
Ia memberikan contoh bahwa seseorang masih bisa merasa bangga menggunakan iPhone model lama seperti iPhone 6 atau 7, karena merek tersebut secara simbolik tetap mampu meningkatkan gengsi penggunanya dibandingkan dengan ponsel Android terbaru sekalipun.
“Brand bukan hanya soal nama, tapi tentang apa yang bisa Anda tunjukkan ke publik: bahwa Anda bukan orang biasa,” jelasnya.
Menurut Devie, dalam masyarakat yang menilai status sosial melalui simbol, merek tidak hanya mencerminkan kualitas produk, tetapi juga berfungsi sebagai identitas sosial yang membedakan penggunanya.
Brand sebagai Simbol Status dan Identitas Sosial
Ketika seseorang memegang iPhone atau barang bermerek lain, yang ditampilkan bukan sekadar teknologi atau fungsi, melainkan citra diri yang ingin dibentuk: bahwa ia adalah bagian dari kelompok atas, yang punya selera, daya beli, dan gengsi.
“Lebih dari itu, brand menjadi paspor tak kasat mata untuk masuk dalam ruang-ruang sosial tertentu, tempat orang diakui dan dihormati berdasarkan tampilan luar,” ucap Devie.
Dalam struktur masyarakat yang sangat memperhatikan status, logo dan merek dapat berbicara lebih nyaring daripada latar belakang pribadi.
Ia pun menutup dengan pesan bahwa penting untuk menyadari latar belakang sosiologis di balik perilaku konsumen.