Weburic – CEO Meta, Mark Zuckerberg, mengakui bahwa TikTok menjadi ancaman besar dan mendesak bagi perusahaannya. Hal ini disampaikannya dalam sidang antitrust yang digelar oleh Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) di Washington DC.
Zuckerberg memberikan kesaksian selama tujuh jam dalam tiga hari terakhir, dalam upaya membantah tuduhan bahwa Meta terlibat dalam praktik monopoli. Dalam kesaksiannya, ia menyoroti dampak signifikan dari lonjakan popularitas TikTok terhadap kinerja Meta sejak tahun 2018.
“Kami mengalami perlambatan pertumbuhan yang sangat tajam. Situasi ini begitu mendesak hingga menjadi prioritas utama perusahaan selama beberapa tahun terakhir,” ujarnya di hadapan pengadilan, seperti dikutip dari New York Post, Selasa (13/5/2025).
Sidang ini juga menghadirkan mantan COO Facebook, Sheryl Sandberg, sebagai saksi. Ia diminta untuk menjelaskan strategi Meta saat menghadapi kompetitor, termasuk saat mengakuisisi Instagram pada 2012, serta tanggapannya terhadap kehadiran Google+, yang kini telah ditutup.
FTC menuduh Meta menjalankan strategi “buy or bury”, yaitu membeli atau menyingkirkan pesaing potensial sebelum mereka berkembang menjadi ancaman serius. Akuisisi Instagram dan WhatsApp dijadikan contoh nyata dari strategi tersebut.
Dalam dakwaan FTC, Meta dianggap sebagai pemain dominan dalam pasar media sosial berbasis hubungan personal, dengan Snapchat disebut sebagai satu-satunya pesaing yang masih relevan.
Namun, Zuckerberg membantah tudingan tersebut. Menurutnya, platform milik Meta seperti Facebook dan Instagram kini lebih berperan sebagai media penemuan konten, bukan sekadar tempat berinteraksi antar teman dan keluarga.
“Cara orang berbagi konten akan terus berubah. Lima tahun ke depan, cara berbagi mereka akan berbeda dibanding sekarang,” tambahnya.
Sidang ini masih terus berlanjut dan diperkirakan menjadi sorotan penting dalam upaya penegakan hukum persaingan usaha digital di Amerika Serikat.
Meta Gagal Damai dengan FTC, Tawaran Zuckerberg Tak Cukup

Menjelang dimulainya sidang antitrust, terungkap bahwa Meta sempat mencoba mencapai kesepakatan damai dengan Komisi Perdagangan Federal AS (FTC). CEO Meta, Mark Zuckerberg, disebutkan telah menawarkan kompensasi sebesar USD 450 juta (sekitar Rp 7,2 triliun) untuk menyelesaikan kasus tersebut di luar pengadilan.
Namun, tawaran awal tersebut dinilai terlalu rendah jika dibandingkan dengan tuntutan FTC yang mencapai USD 30 miliar (sekitar Rp 480 triliun). Bahkan setelah Meta menaikkan tawaran hingga mendekati USD 1 miliar (sekitar Rp 16 triliun), kesepakatan tetap gagal tercapai. FTC tetap bersikeras pada kompensasi minimal USD 18 miliar (sekitar Rp 288 triliun) serta pemberlakuan larangan terhadap praktik monopoli.
Dalam proses persidangan, FTC juga memanfaatkan sejumlah bukti komunikasi internal, termasuk email dan pesan lama dari Zuckerberg. Salah satu dokumen penting berasal dari tahun 2018, di mana Zuckerberg mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi tuntutan antitrust yang bisa memaksa Meta untuk melepas kepemilikannya atas Instagram atau WhatsApp.
“Ada kemungkinan kita dipaksa memisahkan Instagram dan mungkin WhatsApp dalam 5–10 tahun ke depan,” tulis Zuckerberg dalam dokumen tersebut.
Pernyataan tersebut kini menjadi bagian dari argumen kuat FTC untuk membuktikan bahwa Meta secara sadar telah mengembangkan strategi dominasi pasar dan menyadari potensi pelanggaran hukum persaingan usaha.